ANALISIS PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984
ANALISIS
PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984
A. Kronologi
Peristiwa Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
Peristiwa
Tanjung Priok ini berawal dari hegemoni ideologi Pancasila oleh rejim Suharto
pada akhir tahun 1970an. Rejim Suharto setelah menyingkiran gerakan politik
kiri memandang organisasi-organisasi Islam politik sebagai musuh utamanya.
Organisasi Islam politik disebut sebagai kelompok “ekstrim kanan“ yang
mengancam kesejahteraan masyarakat. Mereka menentang kebijakan-kebijakan
seperti indoktrinasi ideology di institusi-institusi pendidikan atau
perencanaan perundang-undangan asas tunggal, dimana kebijakan tersebut memaksa
partai-partai dan organisasi-organisasi untuk menerima Pancasila sebagai
satu-satunya dasar ideologi mereka.
Kelompok
islam menentang karena tidak mau menempatkan agamanya di posisi ke dua.
Demikian juga di Tanjung Priok, sebuah daerah pelabuhan di sebelah utara
Jakarta, pada awal tahun 1984 muncul sebuah gerakan perlawanan. Amir Biki
seorang pengusaha dan mubaligh, mengorganisir beberapa tabligh akbar dimana
dalam acara tersebut terdapat kotbah-kotbah kritis tentang korupsi, dominasi
ekonomi masyarakat indonesia keturunan tionghoa dan perencanaan
perundang-undangan asas tunggal.
Berikut ini adalah kronologi
peristiwa Tanjung Priok 1984:
Sabtu,
8 September 1984
Terjadi
konflik antara jemaat mesjid Assa’dah di Tanjung Priok dan petugas Babinsa
setempat, sersan satu Hermanu. Setelah jemaat tidak menggubris perintah Hermanu
yang menyuruh agar mencabut spanduk-spanduk yang mengkritik pemerintah di
sekitar mesjid tersebut, maka sersan satu tersebut dengan cara yang tidak sopan
mencoba sendiri mencabut poster tersebut. Hal ini membuat marah para jemaat.
Senin
10 September 1984
Usaha
peleraian yang dilakukan oleh dua orang takmir masjid Syarifuddin Rambe dan
Sofwan Sulaeman sementara usaha peleraian sedang berlangsung, orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu,
membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh
Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan terhadap 4
orang yaitu: Rambe, Sulaeman, pengurus mushola Achmad Sahi dan seorang tuna
karya Muhamad Noor.
Selasa,
11 September 1984
Amir Biki
menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir
Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko
66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi
penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir
Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Pada
tanggal 12 September
Amir Biki
dan mubaligh lainnya ikut acara tabligh akbar yang berisikan kritik terhadap
pemerintah. Sebetulnya acara ini tidak ada hubungannya dengan kasus penangkapan
tersebut. Namun Amir Biki dan pendakwah lainnya menggunakan kesempatan tersebut
untuk mengajukan tuntutan pembebasan atas empat tahanan yang sudah disebut
diatas. Ketika ultimatum yang diajukan Biki yaitu bila pembebasan empat
tersangka tersebut hingga pukul 11 malam tidak dipenuhi, ia mengerahkan massa
yang berkumpul untuk mengadakan aksi protes. Sekitar 1,500 massa berjalan
beriring-iring menuju markas Kodim Jakarta Utara, tempat dimana empat orang
tersangka tadi ditahan. Pada saat massa berada di depan Polres Metro Jakarta
Utara mereka di hadang oleh satuan regu artileri pertahanan “Udara Sedang“,
Arhanudse yang segera melepaskan tembakan ke arah massa. Sampai hari ini
seberapa jauh dan penyebab pembantaian ini belum jelas. Pimpinan militer pada
waktu itu menyatakan bahwa prajurit artileri atas dasar pertahanan darurat
menembaki massa yang bersenjata. Sembilan dinyatakan tewas dan lima puluh tiga
luka-luka. Para saksi dan kelompok-kelompok oposisi memberitakan tentang aksi
militer yang terencana itu bahwa jumlah korban meninggal ditafsir lebih banyak
lagi, yaitu berkisar antara 400 sampai 700 orang. Organisasi-organisasi HAM
berkesimpulan bahwa mantan Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Indonesia) Benny
Murdani dan Pangdam V Jaya Try Sutrisno telah memerintahkan atau setidaknya
dengan sadar telah membiarkan aksi pembantaian tersebut. Menurut laporan para
saksi mata Murdani dan Sutrisno muncul pada tanggal 12 September tengah malam
di tempat kejadian mengontrol pelaksaan menutup-nutupi aksi pembantaian
tersebut. Mayat-mayat dimasukkan ke dalam truk-truk militer lalu di bawa ke
tempat lain dan dikuburkan di tempat-tempat yang tidak diketahui. Sedangkan
korban luka-luka dilarikan ke rumah sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, dimana
mereka dilarang untuk menerima kunjungan dari keluarga mereka. Pembantaian
Tanjung Priok adalah awal mula dari gelombang tindak represif terhadap
kritikus-kritikus yang menentang Orde Baru. Korban yang luka-luka pada aksi
demonstrasi tersebut dijatuhi hukuman karena aksi perlawanan menentang
kekuasaan negara.
Berikut
ini adalah daftar jenis-jenis pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok
1984:
1.
Pembunuhan secara kilat (summary
killing)
Tindakan
pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro
Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan
yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu
pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan
senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang
diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini
jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try
Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot
Subroto.
2.
Penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)
Setelah
peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap
orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok.
Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua
korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan
dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan
surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V,
Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.
3.
Penyiksaan (Torture)
Semua
korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami
penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain
dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.
4.
Penghilangan orang secara paksa
(Enforced or involuntary disappearance)
Penghilangan
orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama adalah menyembunyikan identitas dan
jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari
cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil,
terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Kedua adalah menyembunyikan korban
dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan
korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan
memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan
penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui
keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.
B.
SOLUSI
Solusi untuk memecahkan permasalahan pelanggaran HAM
peristiwa Tanjung Priok ini terdiri dari 2, yaitu:
1. Solusi Represif
Solusi Represif ini merupakan solusi yang bisa ditempuh
untuk menyelesaikan dan mengungkap kebenaran dari peristiwa Tanjung Priok ini.
Pencarian kebenaran ini bukan tentang siapa yang akan terbukti bersalah dan
dijatuhi hukuman karena hal tersebut tidak akan bisa mengembalikan semua yang
telah hilang dan semua yang telah rusak menjadi kembali utuh. Tetapi yang jauh
lebih penting adalah bagaimana keadilan itu bisa ditegakkan, dengan adanya
keadilan di negeri ini telah mengindikasikan bahwa saat ini pengadilan telah
bebas dari intervensi militer maupun pemerintah. Adapun langkah-langkah yang
bisa ditempuh untuk mencari kebenaran ini adalah:
·
Mengajukan kembali kasus Tanjung
Priok ini kedalam persidangan
·
Mencari bukti-bukti baru terkait
peristiwa tersebut dengan berkerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
·
Mencari saksi-saksi baru yang bisa
menceritakan kronologis yang sebenarnya tentang Peristiwa tersebut.
2. Solusi Preventif
Solusi Preventif ini adalah solusi yang dapat dilakukan agar
di masa yang akan datang kejadian ini tidak akan terulang lagi. Adapun
solusi-solusi preventif yang dapat dilakukan adalah:
·
Mengamalkan Pancasila sebagaimana
mestinya sebagai ideology bangsa, dan menjalankan UUD 1945 sebagai konstitusi
negara. Pancasila dengan UUD 1945 ini harus bisa di amalkan secara bersamaan
dan saling melengkapi. Ini dilakukan agar apa yang terjadi di masa orde baru
tentang Hegemoni Pancasila tidak terulang lagi karena dengan adanya UUD 1945
maka menjadi penjamin terlindungan HAM bagi warga negara Indonesia.
·
Pemerintah dan instansi terkait
misalnya militer dalam konteks ini harus bisa menahan sikap ketika sedang
menjalankan tugas demi terjalinnya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Dan
ketika terjadi permasalahan hendaknya mampu diselesaikan dengan musyawarah
mufakat antara masing-masing pihak dengan melibatkan lembaga-lembaga social
kemasyarakatan (LSM) sebagai penengah dan pengawas dalam proses pemecahan
masalah.
·
Pemerintah, pemuka agama, dan
tokoh-tokoh masyarakat hendaknya saling berdiskusi dan menjalin hubungan yang
harmonis. Dengan begitu pemimpin-pemimpin dari berbagai elemen tersebut mampu
mengontrol perilaku anak buahnya. Agar tidak ada lagi adu domba dari segelintir
orang yang memanfaatkan keuntungan jika terjadi konflik.
kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh
manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya
terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar
atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan
dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan
suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Pelanggaran
hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan
masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara
aparat pemerintah dengan masyarakat. Apabila dilihat dari perkembangan sejarah
bangsa Indonesia. Kasus
tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang
berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi
pelanggaran HAM dimana terdapat ratusan korban meninggal dunia akibat kekerasan
dan penembakan dan Tanggal 12 September 1984 akan dikenang sebagai hari yang
kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia.Tragedi Tanjung Priok yang telah
menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang.